Header Ads


IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK DALAM KECENDERUNGAN



KEBIJAKAN PUBLIK DALAM KECENDERUNGAN.

Sejarah awal pembentukan Suatu daerah adalah terjadi masalah antar Aktor-aktor Politik sehingga  politik tidak sehat menjadi makanan sehari-hari, sehingga  Pembagunan  tidak berjalan baik adapun melihat dari tingkat keberhasilan secara kualitas dan kuantitas, ada kalanya tidak berhasil masih saja menjadi jargon politik, tetapi kita tidak bisa hanya ukur dari output tahun itu saja,  tetapi input generasi berikutnya yang menjadi korban akibat kesalahan mengambil keputusan hanya karena politik yang mendominasi yang terjadi di daerah  yaitu  antara Jabatan Politik dan Jabatan karier terjadi  politisasi birokrasi, hal ini terjadi juga di tingkat sekolah terutama nampak dalam penempatan kepala sekolah,  penarikan guru ke birokrasi. Hasil fenomena ( intuisi). Tidak bisa di pungkiri bahwa implementasi pemerintahan melihat dari fenomena  ada beberapa hal yang tidak bisa disembunyikan dari kenyataan hidup masyarakat, bahwa pemimpin mengangap dan menggunakan administrasi publik sebagai urusan pribadi; administrasi adalah seolah-olah perluasan bagi rumah tangga sendiri; Tugas pelayanan lebih ditujukan kepentingan diri sendiri, gaji dan hak-hak tidak dibayarkan, para pejabat bertindak sekehendak hati sepertinya kita berada di kerajaan dan juga satu pandangan implementasi kebijakan terhadap kekuasaan yang cenderung menjadikan birokrasi sebagai kekuatan yang sakral, sakralisasi kekuasaan ini membuat lapisan masyarakat tidak mampu menembusnya, sehingga ini perlu ada perubahan mindset, dan harus di lakukan audit sumber daya manusia, karena warisan kepemerintahan sebelumnya sudah ada, dimana sistem rekruitmen tidak didasarkan pada aspek profesionalitas baik itu birokrasi, pendidikan, kesehaan maupun lainnya., Sistem rekruitmen yang buruk ditambah dengan budaya nepotisme dan kolusi yang kuat membuat semua tidak pada tempatnya, sebenarnya keberhasilan dimasa otonomi sangat di tentukan oleh program revitalisasi karena otonomi memberikan kewenangan yang sangat besar kepada daerah, tetapi kenyataannya justru terbalik, audit sumber daya manusia tampaknya menjadi proyek yang tidak bisa di tawar, terutama para implementor diantaranya, semakin meluasnya praktik korupsi, struktur birokrasi sangat kompleks dan fragmentasi, budaya kekuasaan yang berlebihan, politisasi birokrasi meluas, kualitas aparatur yang buruk serta kualitas layanan yang buruk, komitmen politik yang tinggi dari elit-elit yang tidak sebatas pada usaha melanggengkan kekuasaan mereka sehingga revitalisasi harus dilakukan bagi  kecenderungan implementor agar lebih efektif, efisien, berorientasi pada kepentingan masyarakat dan bertanggung jawab kepada masyarakat dan responsif. Jika suatu daerah ketika  dari implementor terutama atasan sudah menjaring komitmen dalam hal nepotisme dan kolusi di suatu daerah maka tentu tidak akan ketemu masalah, kecuali dari masyarakat dan mahasiswa sadar akan sistem yang berjalan sehingga, dengan ini memberikan solusi kepada semua stakeholder supaya kembali merenungkan “apa penting kita membuat persoalan sehingga merugikan bagi orang lain, dan perlu disadari bahwa tanpa pemimpin yang konseptor  tidak akan berhasil dalam suatu daerah.
(Giyai Kornelius)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.